DPR RI Berbagi Pentingnya Diplomasi Parlemen kepada Mahasiswa FISIP UPH.

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia (RI) melalui Badan Kerja Sama Antar Parlemen (BKSAP) mengadakan diskusi tentang diplomasi parlemen kepada mahasiswa dan civitas akademika Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Pelita Harapan (UPH). Bertajuk ‘BKSAP DPR RI dan Peran Strategis Diplomasi Parlemen Indonesia’, diskusi ini bertujuan memperkenalkan BKSAP sebagai salah satu Alat Kelengkapan Dewan yang berperan sebagai penjuru diplomasi Parlemen.

Diadakan pada Selasa, 30 Oktober 2018 di Gedung D 502 UPH Lippo Village, diskusi ini menghadirkan empat orang anggota BKSAP sebagai pembicara. Keempatnya adalah Juliari Peter Batubara (Wakil Ketua BKSAP, Komisi VI DPR RI), Bara Krisha Hasibuan (Anggota BKSAP, Komisi VII DPR RI), Agustina Wilujeng Pramestuti (Anggota BKSAP, Komisi IV DPR RI), dan Dwie Aroem Hadiatie (Anggota BKSAP, Komisi VI DPR RI). Diskusi ini dihadiri pula oleh Dekan FISIP UPH, Prof. Aleksius Jemadu, Ph.D selaku moderator dan Rektor UPH, Dr. (Hon) Jonathan L. Parapak, M. Eng. Sc. yang berkesempatan memberikan kata sambutan.

“Terima kasih kepada anggota DPR RI yang telah datang ke UPH. Hari ini kita akan belajar dari mereka yang sudah luar biasa melakukan tugas-tugas diplomasi di dalam dan luar negeri. Melalui acara ini, mahasiswa bisa mendapatkan pengetahuan tentang cara-cara memperjuangkan kepentingan Indonesia lewat jalur parlemen. Semoga ke depannya mereka juga bisa menjadi bagian dalam memperjuangkan kepentingan Indonesia,” terang Rektor dalam sambutannya.

Seperti yang diketahui, diplomasi sangat penting dilakukan oleh seluruh elemen masyarakat, termasuk oleh DPR RI sebagai parlemen negara yang mewakili rakyat. Karena itu, DPR RI memiliki BKSAP sebagai badan khusus yang bertugas mengembangkan serta meningkatkan hubungan kerja sama antara DPR RI dengan parlemen negara lain, atau dengan kata lain melakukan diplomasi parlemen.

Seperti yang dituturkan oleh Juliari, BKSAP sudah melakukan banyak hal dalam diplomasi parlemen, sebut saja menyelenggarakan Indonesia Pacific Parliamentary Partnership (IPPP) on Human Development and Maritime Sustainability pada Juli 2018 yang dihadiri negara-negara di Kawasan Pasifik. Selain itu, BKSAP DPR RI juga selalu memperjuangkan isu penanganan korban konflik perang Palestina dalam sidang umum Inter-Parliamentary Union (IPU) di Jenewa, Swiss tanggal 14-18 Oktober yang lalu.

Ditambahkan pula oleh Agustina mengenai contoh konkret diplomasi parlemen yang dilakukannya sebagai anggota BKSAP DPR RI.

“Saat itu sedang ada pertemuan Steering Committee of the Parliamentary Conference on the WTO (SC PCWTO) di Jenewa, Swiss. Di sana saya dan delegasi Indonesia bersikeras untuk memasukkan isu terkait proteksi bahan pangan dan hasil pertanian ke dalam draft outcome document PCWTO. Hal ini penting karena Indonesia harus tetap melakukan proteksi terhadap hasil pertanian yang berhubungan dengan stok pangan dengan mekanisme perlindungan produk lokal,” ujar Agustina.

Dalam kesempatan ini, Agustina juga menyampaikan apresiasinya kepada mahasiswa UPH yang bisa mempraktekkan character education dan leadership yang diberikan sebagai materi pembelajaran di kampus UPH.
“Saya mengapresiasi para mahasiswa UPH ini yang memiliki minat yang tinggi dalam melayani di daerah terpencil seperti Papua,” ungkap Agustina.

Dalam diskusi ini juga diwarnai tanya-jawab oleh para peserta dan pembicara, dan dilanjutkan pemberian hadiah oleh para wakil rakyat terhadap mahasiswa yang bisa menjawab pertanyaan. Kegiatan ini berlangsung meriah.

Di akhir sesi, Prof. Aleksius melontarkan pertanyaan pamungkas kepada para wakil rakyat tersebut mengenai isu penting apa yang ada di Indonesia yang perlu dibenahi agar Indonesia dapat menghadapi tantangan ke depannya.

Menurut Bara, isu toleransi, kesenjangan ekonomi, dan tingginya praktik korupsi menjadi tiga isu penting saat ini. Jualiari juga sependapat mengenai isu praktik korupsi, namun yang menduduki posisi paling penting menurutnya adalah mengenai kualitas Human Resources dan rasa kemanusiaan yang mulai hilang. Sedangkan Agustina sependapat dengan Juliari mengenai masalah rasa kemanusiaan, selain itu isu character building dan pudarnya rasa nasionalisme juga tak kalah penting. Terakhir, Aroem menempatkan isu kesenjangan ekonomi di posisi pertama, lalu diikuti oleh masalah perdagangan & industri, serta maraknya praktik korupsi. (it)